Senin, 21 Februari 2011

artikel

 Budaya Isolatif Menghambat
Profesionalisme Guru

Oleh : Jurianto

            Dalam perjalanan guru memenuhi kewajiban untuk meraih hak sebagai guru profesional yang kompeten, guru dihadapkan sejumlah problem yang melekat pada diri guru, lembaga tempat bekerja sekolah, yayasan, departemen dan lembaga pengembang profesionalitas guru.
            Dalam diri guru, mereka memiliki beban kerja yang berat (overload). Selain beban pengajar mereka dituntut melakkan kerja sosial, akuntabilitas terhadap belajar anak, kerja tambahan dari sekolah, mengembangkan diri dengan kegiatan ilmiah, masih banyak yang merangkap kerja di tempat lain untuk mempertahankan hidup. Sikap mental ketergantungan dan enggan menggunakan inisiatif, kreatifitas, hilang kemandirian dan otonomi diri masih meligkupi  sebagian besar guru. Guru yang punya inisiatif da kreatif kurang berkembang karena budaya, dorongan dan peluang untuk menekspresikan diri tidak cukup memadai di samping reward  dan respek buat mereka susah terjadi. Guru bekerja dalam budaya yang isolatif, belum terbiasa bekerja secara kolegial dan saling mendukung, guru belum terbiasa berfikir bersama, memecahkan problem secara bersama untuk untuk kepentingan sukses anak didik.
            Kapasitas dan kompetensi guru kurang memadai untuk mengatasi tuntutan guru profesional, banyak guru  yang under qualified dan mismatch mengajar tidak sesuai dengan  kapasitasnya. Kontek atau institusi dimana guru bekerja juga memberikan kontribusi guru kurang bisa mengembangkan profesionalitas dan kompetensinya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Model kepemimpinan yang otoritas tidak menyebar kesemua personal menciptakan peluang guru hanya sebagai tenaga tehnis yang tidak punya otoritas profesional. Kultur sekolah yang kurang mendukung terciptanya sekolah efektif, tidak melahirkan tradisi resistensi terhadap perubahan, tidak berpengharapan tinggi, serta tidak terikat oleh kemauan dan keyakinan bersama meraih yang terbaik. Sumber daya yang terbatas dan dukungan masyarakat yang lemah, melahirkan guru yang minim ide baru dan cenderung bekerja minimum hanya sekedar dijadikan rutinitas.
            Pengembangan profesionalitas guru sering dikonotasikan dengan training atau workshop yang kadang terlepas dari kontek pengembangan sekolah. Apalagi sekarang musim sertifikasi hanya dijadikan ajang pencarian sertifikat dan piagam saja. Pegembangan profesionalitas yang dilakukan oleh pihak luar dirancang berdasarkan asumsi bukan kebutuhan inovasi sekolah. Peluang guru untuk mengevaluasi kinerja dan  pengembangan keefektifan proses belum menjadi  bagian dari refleksi profesionalitas diri. proses inquiri dan eksperimentasi belum menjadi bagian dari penguatan kapasitas guru teori dan ide baru sesuai reseacher melakukan penilaian terhadap implementasi dan meredesign proses baru. Di samping itu pengembangan karier guru kadang tidak jelas. Guru yang senior yang sudah bekerja dan berkarier lebih dari separuh waktunya kadang kehilangangan energi dan antusiasme, demikian juga motifasi dan semangatnya.
            Pengembangan profesionalitas kadang mengabaikan aspirasi, kemauan dan semangat guru, nilai dan kultur guru. Guru bekerja dengan dorongan nilai dan landasan moral, dengan wisdong dan keahlian, mereka mencetak anak didik      Pertimbangan guru sebagai personal juga sering diabaikan, penyamarataan, tanpa mempertimbangkan partikulasi seperti umur, gender, tingkat karier, tabiat, perilaku dan lain-lain. Pengembangan profesionalitas tidak efektif bila tidak mempertimbangkan unsur guru secara utuh ( total teacher ) yaitu kemauan guru, pengakuan sebagai personal, kontek kerja guru yang real sebagai dunia dimana mereka bekerja dan kultur pengajaran dimana guru punya pola hubungan dengan rekan kerjanya.
            O, Niell menyarankan Pengembangan Profesionalitas agar efektif maka harus dirasionalkan dan dipadukan dengan skala prioritas pada tiap level, baik pengembangan individual maupun organisasi. Kegiatan tersebut akan sukses bila dipadukan juga dengan kontek organisasi dan lingkungan dimana mereka mengimplementasikan pengetahuan dan skill tersebut.
            Secara teknis Stalling memberi pedoman agar guru bisa berubah melalui pengambangan profesionalitas untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dengan syarat :
1.      faham/sadar akan kebutuhan perubahan (need improvement) lewat analisi dan pengamatan mereka.
2.      membuat komitmrn tertulis untuk mencoba ide baru di kelas mereka.
3.      merubah ide workhshop.
4.      mereka mencoba ide baru dan mengevaluasi dampaknya.
5.      mengobservasi kelas-kelas lain dan menganalisis dengan data yang mereka punya.
6.       mereka melaporkan sukses dan kegagalan dalam kelompok
7.      mereka mendiskusikan problem dan pemecahan terkait individu murid dan mata pelajaran.
8.      mereka perlu melakukan pendekatan yang bervariasi, model stimulasi, observasi, kritis terhadap rekaman proses atau video yang terpresentasikan dalam pertemuan.
9.      mereka belajar dengan cara mereka sendiri secara terus menerus untuk merumuskan/ membuat arah dan tujuan pengembangan profesionalitas (profesional growth).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar